JURNALKITAPLUS — Agenda reformasi Polri kembali menjadi sorotan setelah muncul dua tim berbeda yang sama-sama mengusung misi perubahan. Di satu sisi ada Tim Transformasi Reformasi Polri yang dibentuk internal Polri sejak September lalu, sementara di sisi lain Presiden Prabowo Subianto tengah menyiapkan Komite Reformasi Polri. Kehadiran dua tim ini dinilai berpotensi menimbulkan persaingan dan tumpang tindih kewenangan, yang justru dapat menghambat jalannya reformasi.
Menurut peneliti politik CSIS, Nicky Fahrizal, arah reformasi seharusnya datang langsung dari Presiden sebagai atasan Kapolri, bukan dari internal kepolisian. Ia menekankan perlunya Presiden mempercepat pengumuman komite agar jelas siapa yang memimpin proses reformasi. Apalagi, legitimasi tim bentukan Polri dinilai masih lemah di mata publik karena berbagai kasus besar yang mencederai kepercayaan masyarakat, seperti kasus Ferdy Sambo, Teddy Minahasa, hingga tragedi Kanjuruhan.
Dorongan publik agar Presiden mengambil alih kendali reformasi juga muncul karena kebutuhan akan figur berintegritas dalam komite tersebut. Nama-nama seperti Mahfud MD dan mantan Kapolri disebut akan memperkuat komite. Selain itu, agenda reformasi diharapkan menyentuh tiga dimensi penting: struktural, kultural, dan operasional. Di ranah struktural, revisi UU Polri terutama terkait relasi Presiden–Kapolri serta mekanisme pengangkatan Kapolri menjadi perhatian utama. Pada aspek kultural, penyakit impunitas aparat dianggap masih tebal, dengan dominasi sanksi etik dibanding pidana dalam kasus besar. Sementara di ranah operasional, sorotan jatuh pada penggunaan anggaran besar untuk peralatan represif ketimbang peningkatan kualitas penyelidikan dan pelayanan publik.
Isu reformasi Polri ini tak lepas dari konteks politik dan keamanan terkini, termasuk demonstrasi yang berujung rusuh pada Agustus–September lalu, serta konflik berkepanjangan di Papua. Vidhyandika Djati Perkasa, peneliti senior CSIS, menilai strategi aparat di Papua masih terjebak jargon tanpa praktik nyata yang humanis, justru melahirkan kekerasan berulang, pengungsian, hingga korban sipil. Ia mengingatkan, persoalan Papua terlalu kompleks untuk diselesaikan dengan pendekatan keamanan semata.
Dengan latar belakang itu, desakan masyarakat sipil jelas: Presiden Prabowo harus segera mengambil kendali penuh atas agenda reformasi Polri. Tanpa kepemimpinan yang tegas, risiko tarik-menarik kepentingan di tubuh kepolisian akan memperlambat aktualisasi reformasi yang sebetulnya sangat ditunggu publik. (FG12)
Sumber Kompas